Nama Penulis : Ammar Ihsan D’Ligh
Mentari mulai muncul, memancarkan sinar cerahnya dari ufuk timur, memberikan kehidupan baru di muka bumi. Hujan yang turun pada malam itu tampak masih menggenangi lubang-lubang yang ada di jalan. Daun-daun pepohonanpun masih dihiasi oleh butiran-butiran air. Kicauan riang dari burung-burungpun mulai terdangar saling bersahutan satu dengan lainnya. Aku sangat takjub menikmati pemandangan yang dibrikan sang khaliq. Tapi aku tidak menyangka bahwa pagi itu kan menjadi awal dari hari yang aneh bagiku, yamg tetap harus kujalani.
Aku adalah seorang santri pondok pesantren yang sudah terbiasa hidup berasrama. Kehidupanku di pondok tidak terlepas dari belajar, beribadah, serta bergaul dan bermain dengan teman-temanku yang sudah kuanggap seperti saudara. Hari itu adalah hari jum’at, hari libur bagi kami. Hari itu terasa ssangat berbeda bagiku dibandingkan dengan hari-hari lain. Banyak hal aneh yang terjadi pada hari itu. Tak seperti biasa teman-temanku mengucilkanku dalam pergaulan. Kusapa mereka satu persatu, namun tak satupun dari mereka yang membalas sapaanku, bahkan mereka pergi menjauhi diriku dengan terburu-buru seakan-akan kehadiranku menjadi mimpi buruk bagi mereka.Kudatangi teman-temanku yang duduk bercanda riang di pondok bambu kecil depan asrama. Belum sempat kumenyapa dan bergabung dengan mereka, ternyata mereka telah membubarkan diri, menjauhi diriku.
Aku smakin tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada hari itu. Aku tak tahu apa yang seharusnya kulakukan. Aku hanya duduk menyendiri di pondok bambu itu. Kuluruskan kedua kakiku, dan kusandarkan tubuhku ketiang pondok. Tanpa kehadiran mereka di sampingku, dunia yang luas ini trasa sangat sempit bagiku. Biasanya aku slalu berkumpul, dan bercanda ria bersama mereka. Namun, sekarang aku hanya menyendiri, tanpa seorangpun memperdulikanku.
Kucubit pipi kiri dengan tangan kananku, aku berharap dapat terbangun dari mimpi buruk ini, tapi percuma saja. Ini bukanlah suatu mimpi. Ini adalah kenyataan yang harus kuhadapi.
Kulemparkan pandanganku kearah langit biru yang terbentang luas diangkasa. Iri hatiku melihat burung-burung terbang bersama-sama dibawah naungan awan, berkicau riang, bersahut-sahutan satu dengan lainnya. “Ya Allah! Apa salahku! Aku ingin smua ini kembali sperti biasa” doaku dalam hati.
Kuarahkan pandanganku ke lapangan hijau depan sekolah. Kulihat teman-temanku berolahraga bersam dengan wajah yang berseri-seri. Dengan wajah yang terlihat kelelahan, mereka terus berlari mengejar bola, dengan mengenakan seragam yang telah terbasahi oleh keringat. Ingin skali rasanya melangkahkan kakiku untuk berlari mengejar bola bersama eman-temanku. Tapi sudahlah, aku tak ingin berharap lebih banyak lagi. Karena mereka tetap akan menghirukanku.
Kulangkahkan kakiku, berjalan menuju kamarku yang bercatkan biru, yang berada disudut asrama. Kuambil tilam merah kepunyaanku, lalu kubentangkan tepat didepan lemariku. Dengan segera kurebahkan badanku. Aku tak bisa mempercayai kejadian saat itu. Kesalahan apa sebenarnya yang telah kuperbuat?.
Kulihat pintu kamarku telah tertutup rapat. Aku hanya tinggal menyendiri di kamar itu. Kucoba untuk membuka pintu tersebut, namun aku tak dapat membuikanya. Ternyata seseorang telah menguncinya. Aku meminta teman-temanku untuk membukan pintu kamarku, namun tak satupun dari mereka yang mau memperdulikanku. Bahkan aku hanya sendiri di tenga tawa temen-temen yang melihatku terkunci di dalam kamar sendirian. Aku bagaikan badut didalam pertunjukan sirkus. Aku sama sekali tak berdaya. Aku hany bisa pasrah terduduk kaku disudut kamar meratapi kejadian yang kualami. Aku tidak memikirkan siapa orang yang tega melakukan ini padaku, aku hanya berharap semua ini cepat berakhir.
“Teng,teng,teng!” lonceng asrama telah berbunyi. Aku tersentak dari tidurku. Kulihat keadaan sekelilingku. Pintu kamar terbuka lebar, aku masih berada diatas tilam merahku, kulihat tubuhku basah akan keringat. Alhamdulillah! Ternyata ini hanya sebuah mimpi buruk. Mungkin ini karena aku terlalu banyak memikirkan kejadian yang kualami ini, sehingga terbawa ke dalam tidur. Aku bangkit dari tilamku, kuraih jam tangan pemberian kakekku, kulihat jarum jam telah menunjukkan pukul setengah dua belas. Aku langsung bangkit, bergegas untuk mandi dan segera pergi ke mesjid.
Sunyi terasa langkah-langkahku. Tak seperti biasanya, kali ini aku hanya berjalan seorang diri menuju masjid yang letaknya tak jauh dari asramaku. Terik panas matahari terasa sangat memberatkan setiap langkah kakiku. Tapi aku tak menghiraukannya, aku terus berjalan.
Sesampainya di masjid, langsung kubentangkan sajadah abu-abuku, lalu ku melaksanakan shalat sunnah dua rakaat. Tak lupa pula aku berdoa agar semua yang terjadi ini cepat berakhir. Kemudian kuambil alquran merah yang berada di jendela masjid. Kubaca beberapa surat, sembari menunggu dikumandangkannya azan jum’at.
“Allahu akbar, Allahu akbar!”. Azan jum’at telah dikumandangkan. Kututup Alquran dengan bacaan shadaqallahul’azim, tak terasa tiga lembar Alqur’an telah selesai kubaca.
Khutbah jum’atpun dimulai, ternyata ust. Ahmad lah yang menjadi khatib. Beliau adalah Ust senior di pondok kami. Beliau sangat pandai dalam merangkai kata-kata sehingga kami paham terhadap apa yang ia sampaikan.
“Tidak ada manusia yang dapat hidup seorang diri di dunia ini. Kita pasti membutuhkan orang lain dalam berinteraksi untuk dapat memenuhhi kehidupan kita. Maka di dalam pergaulan pun kita akan sering menjumpai yang namanya kesalah pahaman, yang akhirnya menimbulkan perpecahan dan perpisahan. Itulah warna-warni kehidupan. Persoalan tersebut sebenarnya merupakan ujian dari Allah bagi hamba-hambanya. Dimana kita akan dinilai bagaimana sikap dan cara kita menyelesaikan permasalahan tersebut, apakah dengan mengeluh atau bersabar serta tawakkal kepad Allah. Tapi yang jelas setiap ujian yang diberikan Allah pasti ada hikmahnya!…” kata ust. Ahmad mengawali khutbahnya.
Aku tertegun mendengarkan khutbah tersebut. Memang bemnar yang dikatakan oleh ust Ahmad. Aku harus tetap bersabar dan tawakkal dalam menjalani warna-warni kehidupan. Aku akan tetap bersemangat. Aku yakin semua ini pasti ada hikmahnya.
Siang itu matahari bersinar dengan terangnya menerikkan bumi.dari kejauhan aku melihat thaklib, sahabat karibku. Ia sedang melamun di teras asrama. Aku mendatanginya dengan harapan ia tak mengacuhkanku.
“Lib, kamu kenapa? Kok melamun aja?”. Tanyaku pelan kepadanya. “Loh, siapa kamu!”. Jawabnya singkat. Oh ia, aku baru ingat aku harus mengerjakan tugas makalahku sekarang!”. Lanjutnya sambil beranjak dari tempat duduknya dan perhi menjauh meninggalkanku.
Kuperhatikan langkah kakinya menjauhi diriku. Ternyata iapun mengacuhkan kehadiran diriku. Padahal Thalib adalah sahabat yang paling akrab denganku. Kami slalu bersama. Kami sudah seperti saudara kandung. Ketika aku ada masalah dia selalu membantuku, begitu pula jika ia ada masalah aku slalu membantunya. Kami selalu menjaga perasaan satu sama lain. Tak pernah ia menyakiti hatiku, begitu pula aku selalu menjaga hatinya. Namun, sekarang telah berbeda. Kini, ia bukanlah Thalib yang seperti dulu, yang selalu ada disaat aku butuh dia. sekarang ia telah berubah, ia lagi menjadi sahabatku, ia bahkan menjauhi diriku.
Kini aku hanya seorang diri, tanpa ada seorang temanpun yang mau menemaniku. Aku tak tahu kepada siapa aku harus bertanya, kepada siapa aku harus mengadu. Aku hanya dapat berharap agar Allah memberikan yang terbaik bagi diriku.
Sangat membosankan bagiku untuk menjalani waktukutanpa seorang sahabatpun yang menemaniku. Jarum jam terasa berputar sangat lambat. Selesai shalat ashar, tak lupa kuberdoakepada Allah, aku berharap agar hidayah turun dari langit. Aku tidak tahan lagi menjalani kehidupan seperti ini. Aku tidak tahan untuk hidup menyndiri lebih lama lagi.
Sore itu angin berhembus dengan sepoi, udara terasa sangat bersahabat. Aku berharap merekapun mau bersahabat kembali denganku. Kucoba mendekati mereka yang sedang bermain catur, namun mereka segera membubarkan diri. Kudatangi temanku yang sedang bermain itar, namun iapun langsung berhenti dan beranjak pergi meninggalkanku. Ternyata mereka tetap tidak mau bersahabat denganku.
Sesekali angin berhembus menggoyangkan ranting pepohonan. Burung-burung terbang kembali ke sangkarnya. Mentari sorepun lebih memilih untuk menyembunyikan diri. Langit biru cerah telah berubah menjadi gelap kemerahan diufuk timur. Jiwaku masih sunyi didalam kehampaan, tak tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi. Waktu yang terus bergulir hanya kuisi dengan doa dan harapan agar kesepian ini segera berakhir. Aku masih duduk termenung mencoba menjawab apa sebenarnya jawaban di balik teka-teki dari kehidupanku ini.
Waktu terus berlalu. Detik yang terus berganti dengan menit sangat berat kujalani. Mentari telah berganti dengan rembulan. Kuputuskan untuk duduk menyendiri di pondok itu. Menikmati panorama indah pada malam itu. Suara-suara ringkikan jangkrik mulai terdengar memecahkan keheningan malam hari. Kuperhatikan disekelilingku, aku hanya melihat kegelapan malam. “Akankah hatiku menjadi gelap seperti gelapnya malam ini?”. Benakku dalam hati.
Angin yang berhembus pada malam itu terasa sangat menusuk paru-paruku. Namun kucuba untuk bertahan dari dinginnya udara malam hari itu. Kuambil secarik kertas dan sebuah pena dari dalam tas coklat yang kudapat ketika mengikuti KMD. Aku berusaha menghibur diriku dengan mencoba merangkai kata-kata menjadi kalimat yang indah. Namun aku tak mampu. Pikiranku masih buntu oleh kesunyian malam. Kucoba tuk mencurahkan seluruh pikiranku diatas secarik kertas tersebut. Tapi percuma, karena kesepian telah menghantui pikiranku. Aku menjadi smakin tidak mengerti, misteri apa yang sebenarnya menghampiri kisahku ini.
Kuletakkan penaku, kurebahkan badanku. Kupandangi langit gelap nan luas diangkasa. Pandanganku tertuju pada bintang terang yang menghiasi sang malam. Bintang itu bersinar terang, ia tak terpengaruhi oleh kegelapan langit disekelilingnya.”Aku harus menjadi bintang terang diangkasa!”. Tekadku dalam hati.
“Samani! Sini kau!” teriak Jahal mengganggu lamunanku. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi aku mempunyai firasat buruk pada saat itu.”mengapa Jahal berteriak memanggilku? Bukankah mereka semua ? tapi sudahlah lebih baik aku menemuinya saja.” Benakku dalam hati.
Ternyata benar firasatku, belum sempat aku berbicara, ia langsung meraih leher bajuku dan menggenggamnya dengan erat. “apa yang kau lakukan ini? Apa salahku? Tanyaku membela diri. Aku berusahauntuk melepaskan genggaman tangannya, tapi aku tak berdaya. Jahal memeng santri yang bertubuh besar dan bertenaga kuat. Sedangkan aku bertubuh kecil. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. “lima tugizhuni?(kenapa kau buat panas terusz)”. Katanya dengan nada sangat tinggi. Sementara teman-temanku yang lain yang melihat kejadian itu langsung datang berkumpul mengelilingi kami berdua. Namun yang kuherankan tak seorangpun dari mereka yang maju untuk menolongku. Seolah-olah mereka memang sangat membenciku.
Ia lalu mendorongku hingga aku jatuh dan terjerembab ke lantai. Aku sangat tak berdaya menghadapinya. Aku tak tahu apa yang aku rasakan pada saat itu. Aku sungguh tak mengerti mengapa ia tega melakukan hal ini padaku, padahal aku tak mempunyai salah kepadanya. Mengapa tak seorangpun yang mau menolongku? Kesalahan apa yang sebenarnya telah kuperbuat kepada mereka sehingga mereka tega berbuat seperti ini.
Jantungku berdegup kancang,nafasku berhembus cepat. Dalam setiap hembusan nafasku, aku hanya berdoa kepada Allah agar bisa menghindari perkelahian ini, dan semua ini cepat berakhir.
Aku berusaha bangkit untuk berdiri. “tas, tas, tas!”. Suatu benda dilempar mengenai kepalaku, stelah kusadari itu adalah telur-telur yang telah mengotori kepalaku. Dilanjutkan dengan lemparan tepung, bubuk kopi, lumpur, dan lainnya. Dalam waktu singkat sekujur tubuhku telah berubah menjadi sangat kotor dengan aroma yang sangat bau. “Happy birthday to you!….” nyanyi mereka dengan riang.
“Selamat ulang tahun akhi! Smoga panjang umur ya! Tadi maafin aku ya! Kamu tidak apa-apakan! Ini, terimalah kado dari kami semua!”. Kata Thalib sambil memberikanku sebuah bingkisan terbalut rapi oleh kertas kado berwarna hijau muda dengan pita merah menghiasinya. Di bingkisan tersebut tertulis “Happy Milad yang ke 17! Sahabat… Persahabatan kita akan abadi untuk selamanya…”
“Sahabat…, terima kasih ya atas kejutan yang telah kalian berikan kepadaku! Ini adalah kado ulang tahun yang sangat spesial bagiku, dan aku tak akan pernah melupakannya!. Awalnya aku mengira kalian benar-benar mengucilkanku, tapi ternyata sebaliknya lebih dari itu. Kalian mengingat hari miladku, padahal aku sendiri tidak mengingatnya”.jawabku
“Sahabat…! Satu hari ini aku sangat tersiksa dalam kesunyianku. Kesendirian slalu menghantui setiap langkahkakiku, bahkan sampai merasuki mimpi dalam tidurku. Tapi ternyata Allah memberikanku sahabat yang sangat menyayangiku. Aku mendapatkan banyak pelajaran ari ini, ini adalah kado yang sangat spesial bagiku. Karena itu aku berharap kita akan slalu bersama sahabatku!” kataku. Tak terasa air mata tetesan air mata jatuh membasahi pipiku.
“Kami juga berhara demikian sobat! Tapi memangnya kamu mimpi apa?” tanya Jahal penasaran. Akupun menceritakan mimpi yang kualami pada mereka, yang kemudian disambut tawa riang kami semua.
Itu adalah malam yang sangat spesial bagiku. Aku sangat bersukur mempunyai banyak sahabat seperti mereka. Aku berharap persahabatan itu bisa terus berlanjut, walaupun kami telah keluar dari pondok ini nantinya. Rasa haru, senang, dan bahagia bercampur padu dalam hatiku. Aku sangat bahagia pada malam itu.
Sekarang aku mengerti. Ya… ini adalah tanggal 08 april, hari ulang tahunku. Aku memang tidak menyadarinya, karena kalender yang kami gunakan di pondok ini adalah kalender islami. Yang kutahu ini adalah tanggal 08 rajab. Kini usiaku bertambah menjadi 17 tahun. Ternyata memang benar yang dikatakan orang, kita akan merasakan bahagia di umr 17 tahun. Ya.. Sweet Seventeen. Akhirnya misteri hari ini berakhir juga. Hmm, 08 april, ya.. misteri 08 rajab. Ternyata semua itu hanyalah tamsil belaka. Aku sangat bahagia dengan apa yang telah kuperbuat pada hari ini.
Tak sabar kumenunggu mentari muncul menampakkan senyuman esok hari. Aku akan mulai membuka lembaran baru, menggoreskan hal indah dalam kisahku selanjutnya.
Kupandangi bintang terang diangkasa, yang senantiasa menghiasi indahnya sang malam. Memberi cahaya pandar di kegelapan langit. “Aku harus menjadi cahaya yang akan menyinari sekitarku. Ya, aku akan menjadi cahaya yang akan selalu bersinar terang. Dengan sinar itu aku akan membuat sahabt-sahabtku bersinar terang. Ya… sama seperti aku. Dan kami akan saling menyinari dengan cahaya yang kami miliki. Kami akan menyinari dunia. Menjadi sebuah cahaya, Light!” Tanamku dalam hati.
Mentari mulai muncul, memancarkan sinar cerahnya dari ufuk timur, memberikan kehidupan baru di muka bumi. Hujan yang turun pada malam itu tampak masih menggenangi lubang-lubang yang ada di jalan. Daun-daun pepohonanpun masih dihiasi oleh butiran-butiran air. Kicauan riang dari burung-burungpun mulai terdangar saling bersahutan satu dengan lainnya. Aku sangat takjub menikmati pemandangan yang dibrikan sang khaliq. Tapi aku tidak menyangka bahwa pagi itu kan menjadi awal dari hari yang aneh bagiku, yamg tetap harus kujalani.
Aku adalah seorang santri pondok pesantren yang sudah terbiasa hidup berasrama. Kehidupanku di pondok tidak terlepas dari belajar, beribadah, serta bergaul dan bermain dengan teman-temanku yang sudah kuanggap seperti saudara. Hari itu adalah hari jum’at, hari libur bagi kami. Hari itu terasa ssangat berbeda bagiku dibandingkan dengan hari-hari lain. Banyak hal aneh yang terjadi pada hari itu. Tak seperti biasa teman-temanku mengucilkanku dalam pergaulan. Kusapa mereka satu persatu, namun tak satupun dari mereka yang membalas sapaanku, bahkan mereka pergi menjauhi diriku dengan terburu-buru seakan-akan kehadiranku menjadi mimpi buruk bagi mereka.Kudatangi teman-temanku yang duduk bercanda riang di pondok bambu kecil depan asrama. Belum sempat kumenyapa dan bergabung dengan mereka, ternyata mereka telah membubarkan diri, menjauhi diriku.
Aku smakin tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada hari itu. Aku tak tahu apa yang seharusnya kulakukan. Aku hanya duduk menyendiri di pondok bambu itu. Kuluruskan kedua kakiku, dan kusandarkan tubuhku ketiang pondok. Tanpa kehadiran mereka di sampingku, dunia yang luas ini trasa sangat sempit bagiku. Biasanya aku slalu berkumpul, dan bercanda ria bersama mereka. Namun, sekarang aku hanya menyendiri, tanpa seorangpun memperdulikanku.
Kucubit pipi kiri dengan tangan kananku, aku berharap dapat terbangun dari mimpi buruk ini, tapi percuma saja. Ini bukanlah suatu mimpi. Ini adalah kenyataan yang harus kuhadapi.
Kulemparkan pandanganku kearah langit biru yang terbentang luas diangkasa. Iri hatiku melihat burung-burung terbang bersama-sama dibawah naungan awan, berkicau riang, bersahut-sahutan satu dengan lainnya. “Ya Allah! Apa salahku! Aku ingin smua ini kembali sperti biasa” doaku dalam hati.
Kuarahkan pandanganku ke lapangan hijau depan sekolah. Kulihat teman-temanku berolahraga bersam dengan wajah yang berseri-seri. Dengan wajah yang terlihat kelelahan, mereka terus berlari mengejar bola, dengan mengenakan seragam yang telah terbasahi oleh keringat. Ingin skali rasanya melangkahkan kakiku untuk berlari mengejar bola bersama eman-temanku. Tapi sudahlah, aku tak ingin berharap lebih banyak lagi. Karena mereka tetap akan menghirukanku.
Kulangkahkan kakiku, berjalan menuju kamarku yang bercatkan biru, yang berada disudut asrama. Kuambil tilam merah kepunyaanku, lalu kubentangkan tepat didepan lemariku. Dengan segera kurebahkan badanku. Aku tak bisa mempercayai kejadian saat itu. Kesalahan apa sebenarnya yang telah kuperbuat?.
Kulihat pintu kamarku telah tertutup rapat. Aku hanya tinggal menyendiri di kamar itu. Kucoba untuk membuka pintu tersebut, namun aku tak dapat membuikanya. Ternyata seseorang telah menguncinya. Aku meminta teman-temanku untuk membukan pintu kamarku, namun tak satupun dari mereka yang mau memperdulikanku. Bahkan aku hanya sendiri di tenga tawa temen-temen yang melihatku terkunci di dalam kamar sendirian. Aku bagaikan badut didalam pertunjukan sirkus. Aku sama sekali tak berdaya. Aku hany bisa pasrah terduduk kaku disudut kamar meratapi kejadian yang kualami. Aku tidak memikirkan siapa orang yang tega melakukan ini padaku, aku hanya berharap semua ini cepat berakhir.
“Teng,teng,teng!” lonceng asrama telah berbunyi. Aku tersentak dari tidurku. Kulihat keadaan sekelilingku. Pintu kamar terbuka lebar, aku masih berada diatas tilam merahku, kulihat tubuhku basah akan keringat. Alhamdulillah! Ternyata ini hanya sebuah mimpi buruk. Mungkin ini karena aku terlalu banyak memikirkan kejadian yang kualami ini, sehingga terbawa ke dalam tidur. Aku bangkit dari tilamku, kuraih jam tangan pemberian kakekku, kulihat jarum jam telah menunjukkan pukul setengah dua belas. Aku langsung bangkit, bergegas untuk mandi dan segera pergi ke mesjid.
Sunyi terasa langkah-langkahku. Tak seperti biasanya, kali ini aku hanya berjalan seorang diri menuju masjid yang letaknya tak jauh dari asramaku. Terik panas matahari terasa sangat memberatkan setiap langkah kakiku. Tapi aku tak menghiraukannya, aku terus berjalan.
Sesampainya di masjid, langsung kubentangkan sajadah abu-abuku, lalu ku melaksanakan shalat sunnah dua rakaat. Tak lupa pula aku berdoa agar semua yang terjadi ini cepat berakhir. Kemudian kuambil alquran merah yang berada di jendela masjid. Kubaca beberapa surat, sembari menunggu dikumandangkannya azan jum’at.
“Allahu akbar, Allahu akbar!”. Azan jum’at telah dikumandangkan. Kututup Alquran dengan bacaan shadaqallahul’azim, tak terasa tiga lembar Alqur’an telah selesai kubaca.
Khutbah jum’atpun dimulai, ternyata ust. Ahmad lah yang menjadi khatib. Beliau adalah Ust senior di pondok kami. Beliau sangat pandai dalam merangkai kata-kata sehingga kami paham terhadap apa yang ia sampaikan.
“Tidak ada manusia yang dapat hidup seorang diri di dunia ini. Kita pasti membutuhkan orang lain dalam berinteraksi untuk dapat memenuhhi kehidupan kita. Maka di dalam pergaulan pun kita akan sering menjumpai yang namanya kesalah pahaman, yang akhirnya menimbulkan perpecahan dan perpisahan. Itulah warna-warni kehidupan. Persoalan tersebut sebenarnya merupakan ujian dari Allah bagi hamba-hambanya. Dimana kita akan dinilai bagaimana sikap dan cara kita menyelesaikan permasalahan tersebut, apakah dengan mengeluh atau bersabar serta tawakkal kepad Allah. Tapi yang jelas setiap ujian yang diberikan Allah pasti ada hikmahnya!…” kata ust. Ahmad mengawali khutbahnya.
Aku tertegun mendengarkan khutbah tersebut. Memang bemnar yang dikatakan oleh ust Ahmad. Aku harus tetap bersabar dan tawakkal dalam menjalani warna-warni kehidupan. Aku akan tetap bersemangat. Aku yakin semua ini pasti ada hikmahnya.
Siang itu matahari bersinar dengan terangnya menerikkan bumi.dari kejauhan aku melihat thaklib, sahabat karibku. Ia sedang melamun di teras asrama. Aku mendatanginya dengan harapan ia tak mengacuhkanku.
“Lib, kamu kenapa? Kok melamun aja?”. Tanyaku pelan kepadanya. “Loh, siapa kamu!”. Jawabnya singkat. Oh ia, aku baru ingat aku harus mengerjakan tugas makalahku sekarang!”. Lanjutnya sambil beranjak dari tempat duduknya dan perhi menjauh meninggalkanku.
Kuperhatikan langkah kakinya menjauhi diriku. Ternyata iapun mengacuhkan kehadiran diriku. Padahal Thalib adalah sahabat yang paling akrab denganku. Kami slalu bersama. Kami sudah seperti saudara kandung. Ketika aku ada masalah dia selalu membantuku, begitu pula jika ia ada masalah aku slalu membantunya. Kami selalu menjaga perasaan satu sama lain. Tak pernah ia menyakiti hatiku, begitu pula aku selalu menjaga hatinya. Namun, sekarang telah berbeda. Kini, ia bukanlah Thalib yang seperti dulu, yang selalu ada disaat aku butuh dia. sekarang ia telah berubah, ia lagi menjadi sahabatku, ia bahkan menjauhi diriku.
Kini aku hanya seorang diri, tanpa ada seorang temanpun yang mau menemaniku. Aku tak tahu kepada siapa aku harus bertanya, kepada siapa aku harus mengadu. Aku hanya dapat berharap agar Allah memberikan yang terbaik bagi diriku.
Sangat membosankan bagiku untuk menjalani waktukutanpa seorang sahabatpun yang menemaniku. Jarum jam terasa berputar sangat lambat. Selesai shalat ashar, tak lupa kuberdoakepada Allah, aku berharap agar hidayah turun dari langit. Aku tidak tahan lagi menjalani kehidupan seperti ini. Aku tidak tahan untuk hidup menyndiri lebih lama lagi.
Sore itu angin berhembus dengan sepoi, udara terasa sangat bersahabat. Aku berharap merekapun mau bersahabat kembali denganku. Kucoba mendekati mereka yang sedang bermain catur, namun mereka segera membubarkan diri. Kudatangi temanku yang sedang bermain itar, namun iapun langsung berhenti dan beranjak pergi meninggalkanku. Ternyata mereka tetap tidak mau bersahabat denganku.
Sesekali angin berhembus menggoyangkan ranting pepohonan. Burung-burung terbang kembali ke sangkarnya. Mentari sorepun lebih memilih untuk menyembunyikan diri. Langit biru cerah telah berubah menjadi gelap kemerahan diufuk timur. Jiwaku masih sunyi didalam kehampaan, tak tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi. Waktu yang terus bergulir hanya kuisi dengan doa dan harapan agar kesepian ini segera berakhir. Aku masih duduk termenung mencoba menjawab apa sebenarnya jawaban di balik teka-teki dari kehidupanku ini.
Waktu terus berlalu. Detik yang terus berganti dengan menit sangat berat kujalani. Mentari telah berganti dengan rembulan. Kuputuskan untuk duduk menyendiri di pondok itu. Menikmati panorama indah pada malam itu. Suara-suara ringkikan jangkrik mulai terdengar memecahkan keheningan malam hari. Kuperhatikan disekelilingku, aku hanya melihat kegelapan malam. “Akankah hatiku menjadi gelap seperti gelapnya malam ini?”. Benakku dalam hati.
Angin yang berhembus pada malam itu terasa sangat menusuk paru-paruku. Namun kucuba untuk bertahan dari dinginnya udara malam hari itu. Kuambil secarik kertas dan sebuah pena dari dalam tas coklat yang kudapat ketika mengikuti KMD. Aku berusaha menghibur diriku dengan mencoba merangkai kata-kata menjadi kalimat yang indah. Namun aku tak mampu. Pikiranku masih buntu oleh kesunyian malam. Kucoba tuk mencurahkan seluruh pikiranku diatas secarik kertas tersebut. Tapi percuma, karena kesepian telah menghantui pikiranku. Aku menjadi smakin tidak mengerti, misteri apa yang sebenarnya menghampiri kisahku ini.
Kuletakkan penaku, kurebahkan badanku. Kupandangi langit gelap nan luas diangkasa. Pandanganku tertuju pada bintang terang yang menghiasi sang malam. Bintang itu bersinar terang, ia tak terpengaruhi oleh kegelapan langit disekelilingnya.”Aku harus menjadi bintang terang diangkasa!”. Tekadku dalam hati.
“Samani! Sini kau!” teriak Jahal mengganggu lamunanku. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi aku mempunyai firasat buruk pada saat itu.”mengapa Jahal berteriak memanggilku? Bukankah mereka semua ? tapi sudahlah lebih baik aku menemuinya saja.” Benakku dalam hati.
Ternyata benar firasatku, belum sempat aku berbicara, ia langsung meraih leher bajuku dan menggenggamnya dengan erat. “apa yang kau lakukan ini? Apa salahku? Tanyaku membela diri. Aku berusahauntuk melepaskan genggaman tangannya, tapi aku tak berdaya. Jahal memeng santri yang bertubuh besar dan bertenaga kuat. Sedangkan aku bertubuh kecil. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. “lima tugizhuni?(kenapa kau buat panas terusz)”. Katanya dengan nada sangat tinggi. Sementara teman-temanku yang lain yang melihat kejadian itu langsung datang berkumpul mengelilingi kami berdua. Namun yang kuherankan tak seorangpun dari mereka yang maju untuk menolongku. Seolah-olah mereka memang sangat membenciku.
Ia lalu mendorongku hingga aku jatuh dan terjerembab ke lantai. Aku sangat tak berdaya menghadapinya. Aku tak tahu apa yang aku rasakan pada saat itu. Aku sungguh tak mengerti mengapa ia tega melakukan hal ini padaku, padahal aku tak mempunyai salah kepadanya. Mengapa tak seorangpun yang mau menolongku? Kesalahan apa yang sebenarnya telah kuperbuat kepada mereka sehingga mereka tega berbuat seperti ini.
Jantungku berdegup kancang,nafasku berhembus cepat. Dalam setiap hembusan nafasku, aku hanya berdoa kepada Allah agar bisa menghindari perkelahian ini, dan semua ini cepat berakhir.
Aku berusaha bangkit untuk berdiri. “tas, tas, tas!”. Suatu benda dilempar mengenai kepalaku, stelah kusadari itu adalah telur-telur yang telah mengotori kepalaku. Dilanjutkan dengan lemparan tepung, bubuk kopi, lumpur, dan lainnya. Dalam waktu singkat sekujur tubuhku telah berubah menjadi sangat kotor dengan aroma yang sangat bau. “Happy birthday to you!….” nyanyi mereka dengan riang.
“Selamat ulang tahun akhi! Smoga panjang umur ya! Tadi maafin aku ya! Kamu tidak apa-apakan! Ini, terimalah kado dari kami semua!”. Kata Thalib sambil memberikanku sebuah bingkisan terbalut rapi oleh kertas kado berwarna hijau muda dengan pita merah menghiasinya. Di bingkisan tersebut tertulis “Happy Milad yang ke 17! Sahabat… Persahabatan kita akan abadi untuk selamanya…”
“Sahabat…, terima kasih ya atas kejutan yang telah kalian berikan kepadaku! Ini adalah kado ulang tahun yang sangat spesial bagiku, dan aku tak akan pernah melupakannya!. Awalnya aku mengira kalian benar-benar mengucilkanku, tapi ternyata sebaliknya lebih dari itu. Kalian mengingat hari miladku, padahal aku sendiri tidak mengingatnya”.jawabku
“Sahabat…! Satu hari ini aku sangat tersiksa dalam kesunyianku. Kesendirian slalu menghantui setiap langkahkakiku, bahkan sampai merasuki mimpi dalam tidurku. Tapi ternyata Allah memberikanku sahabat yang sangat menyayangiku. Aku mendapatkan banyak pelajaran ari ini, ini adalah kado yang sangat spesial bagiku. Karena itu aku berharap kita akan slalu bersama sahabatku!” kataku. Tak terasa air mata tetesan air mata jatuh membasahi pipiku.
“Kami juga berhara demikian sobat! Tapi memangnya kamu mimpi apa?” tanya Jahal penasaran. Akupun menceritakan mimpi yang kualami pada mereka, yang kemudian disambut tawa riang kami semua.
Itu adalah malam yang sangat spesial bagiku. Aku sangat bersukur mempunyai banyak sahabat seperti mereka. Aku berharap persahabatan itu bisa terus berlanjut, walaupun kami telah keluar dari pondok ini nantinya. Rasa haru, senang, dan bahagia bercampur padu dalam hatiku. Aku sangat bahagia pada malam itu.
Sekarang aku mengerti. Ya… ini adalah tanggal 08 april, hari ulang tahunku. Aku memang tidak menyadarinya, karena kalender yang kami gunakan di pondok ini adalah kalender islami. Yang kutahu ini adalah tanggal 08 rajab. Kini usiaku bertambah menjadi 17 tahun. Ternyata memang benar yang dikatakan orang, kita akan merasakan bahagia di umr 17 tahun. Ya.. Sweet Seventeen. Akhirnya misteri hari ini berakhir juga. Hmm, 08 april, ya.. misteri 08 rajab. Ternyata semua itu hanyalah tamsil belaka. Aku sangat bahagia dengan apa yang telah kuperbuat pada hari ini.
Tak sabar kumenunggu mentari muncul menampakkan senyuman esok hari. Aku akan mulai membuka lembaran baru, menggoreskan hal indah dalam kisahku selanjutnya.
Kupandangi bintang terang diangkasa, yang senantiasa menghiasi indahnya sang malam. Memberi cahaya pandar di kegelapan langit. “Aku harus menjadi cahaya yang akan menyinari sekitarku. Ya, aku akan menjadi cahaya yang akan selalu bersinar terang. Dengan sinar itu aku akan membuat sahabt-sahabtku bersinar terang. Ya… sama seperti aku. Dan kami akan saling menyinari dengan cahaya yang kami miliki. Kami akan menyinari dunia. Menjadi sebuah cahaya, Light!” Tanamku dalam hati.
Labels:
Cerpen Misteri
Thanks for reading Misteri 08 . Please share...!