Blognya Seorang Pelajar || Penyedia Berbagai Jenis Cerpen

Salju Terakhir (Bagian 2)

oleh: Ronny Mailindra 
Sutan Batuta tak mungkin menyerah jika hanya didiamkan.
Sudah lewat tengah malam namun pikiranku masih saja mengembara. Karena tak bisa tidur, aku pergi ke benteng.
Amarukso mengatakan Bujanglebun tetap bergeming di dekat gerbang.
Orang ini jelas cari mati, pikirku.
“Bawa dia masuk. Beri makan dan tempatkan di barak. Besok pagi hadapkan ia,” perintahku. “Ingat, jangan lengah!”

“Daulat, Tuanku. Hamba sendiri yang akan mengawasi,” jawab Amarukso.
###
“Lebih baik hamba membeku di luar jika tak diberi kesempatan, Tuanku,” kata Bujanglebun ketika ia kembali berlutut di hadapanku.
Kutatap lekat ia. Muka tirus, mata sipit, dan hidung bengkok masih berada pada tempatnya. Namun hal yang ia lakukan semalam mempersulitku untuk memastikan niatnya. Dan hal yang baru saja ia katakan, hanya mempertegas apa yang telah kudengar kemarin: bahwa setelah kematian saudara seperguruannya—Rubah Merah—di tangan Amarukso, ia jadi merenungi hakekat hidup; bahwa semua orang pasti mati dan karenanya hidup mulia jadi satu-satunya pilihan; bahwa Sutan Batuta bersikap kurang mulia, dan untuk memperbaiki kesalahannya ia ingin mengabdi padaku.
Oh, andaipun bualan itu keluar dari mulut rahib suci, belum tentu aku memborongnya, apa dia pikir aku sedungu itu?
Sesungguhnya aku tak punya dendam padanya. Ia cuma bidak. Bahkan sebenarnya aku pun tak punya sakit hati pada Batuta. Ini cuma lakon hidup dan yang kuinginkan hanyalah kedamaian. Membiarkan Bujanglebun mati di depan bentengku jelas mengusikku.
“Baiklah, Pendekar,” kataku. “Apa yang bisa kauberikan. Aku sudah punya segalanya?”
Dia diam sejenak. Tentu dia akan mengatakan rahasia Sutan Batuta yang tak seorang pun di balairung ini tahu. Namun, dengan menjual itu ia akan menunjukkan wajah aslinya.
“Apa pun, Tuanku. Demi kedamaian wangsa Tuanku, sepanjang tak menyengsarakan wangsa lain,” jawabnya.
Aku sedikit terhenyak.
###
Dua purnama berikutnya kuhabiskan untuk menguji Bujanglebun. Dimulai dengan menghapus rajah tiga tombak—simbol tertinggi pengawal Batuta. Ia melakukannya dengan mantap, bahkan agak berlebihan dengan menggores kulitnya tanpa meminum arak atau menotok syaraf. Kulihat Amarukso sinis dan sedikit gusar menyaksikannya.
Lengah pangkal celaka. Aku pasti akan celaka jika menelan bulat-bulat perkataan Bujanglebun. Dia menceritakan bahwa Batuta telah mengirimkan tiga regu pasukan masing-masing berkekuatan sekitar tiga puluh prajurit ke tiga desa dekat perbatasan. Menurutnya, ia sampaikan itu untuk menghindari pertempuran yang tidak seimbang, bukan untuk menghancurkan Batuta.
Kukirim telik sandi ke tiga daerah tersebut. Informasi Bujanglebun ternyata tidak akurat. Telik sandiku mengatakan tiap regu pasukan musuh pastilah berjumlah lebih dari seratus orang.
Lengah pangkal celaka. Apa karena wajahnya yang selalu mengundang curiga ia tak berhak dipercaya? Kupikir banyak juga manusia berwajah rupawan yang bisa lebih licik. Kini perkembangan di kastilku justru terbalik. Pikatan yang awalnya menyarankan mempekerjakan Bujanglebun, kini malah memperingatkanku untuk lebih waspada—kalau memungkinkan segera mendepak cerpelai itu. Dan istriku, malah berbalik menyukai Bujanglebun. Mereka jelas tak mungkin diakurkan. Celakanya, Amarukso jadi tidak jernih berpikir hingga tiap kali informasi berharga keluar dari mulut Bujanglebun, ia menyarankanku untuk mengabaikannya.
Hyang Tunggal yang agung, beri aku kedamaian. Sungguh menyakitkan mendapati kenyataan ini. Dalam usahaku menentramkan aku malah mengundang kekacauan. Puncak persaingan mereka menyeruak saat musim dingin akan berlalu—ketika utusan Batuta tiba dan membawa surat tantangan.
[Bersambung]
Labels: Cerpen Fiksi

Thanks for reading . Please share...!

Back To Top