Salju Terakhir (Bagian 1)
Oleh: R.Mailindra
Lengah pangkal celaka. Nasehat itu tak mungkin kuabaikan. Mendengar namanya saja segera membuat kantukku menguap, dan begitu kulihat tampangnya, kuyakin akan celaka berlipat jika sampai lengah.
“Kau mampu menghianati Tuanmu, apa jaminanmu tak membokongku?”
“Kau mampu menghianati Tuanmu, apa jaminanmu tak membokongku?”
Lelaki lusuh yang bersimpuh di hadapanku itu sedikit mendongak, namun matanya tetap menatap kakiku. Sepertinya ia ingin memamerkan raut wajahnya. Mukanya yang tirus itu menegang. “Hamba tak akan menghianati Tuanku,” jawabnya.
Hampir saja aku tergelak menyaksikan lagaknya—sungguh tidak meyakinkan. Lelaki bernama asli Bujanglebun ini punya gelar Cerpelai Merah. Ia bekas pengawal Sutan Batuta—musuhku, penguasa Lembah Lumbuan. Aku sudah berulang kali bentrok dengannya dan pada pertempuran terakhir kami sepakat untuk tidak saling serang hingga musim dingin berlalu.
“Antarkan pendekar ini keluar benteng. Aku tak membutuhkannya.”
Amarukso, kepala pengawalku, segera menggelandangnya.
###
Salju mulai turun ketika mentari senja memerah. Menurutku ramalan Datuk Mangku Rekata akan betul terjadi.
“Rasi Bintang Kala tampak redup, Tuanku. Kemungkinan musim ini akan membuat Pisang Selanga layu,” ramalnya beberapa waktu lalu.
Pisang Selanga, trubus kebanggaan negeriku tahan segala musim, termasuk di musim dingin yang buruk. Sudah berabad-abad demikian. Kalau tumbuhan sekuat itu bisa layu, musim dingin ini pastilah teramat buruk. Itulah sebabnya kuterima gencatan Sutan Batuta. Pastilah ia mendapat ramalan yang sama dari datuknya.
Di atas benteng angin bersalju terasa menusuk. Kualihkan pandangan ke bawah, hamparan di sana mulai memutih.
“Sudah berapa lama dia di sana?”
“Dia bergeming sejak kami keluarkan, Tuanku,” jawab Amarukso.
“Cerpelai ini betul-betul naif,” pikirku.
Bujanglebun tampak berlutut beberapa kaki dari gerbang. Tubuhnya teronggok seperti bongkahan kayu. Aku tahu dia punya tenaga dalam, namun berapa lama ia mampu menantang alam? Ia akan membiru saat mentari pagi muncul.
“Awasi, jangan lengah!” perintahku.
###
Lengah pangkal celaka. Berapa banyak lelaki kehilangan kepalanya gara-gara wanita? Pikiran semacam itu berkelebat ketika Puan Pikatan, selirku yang paling jelita, mulai memberi usul.
“Tuanku tak perlu memercayai penghianat itu. Cukup menggali informasi. Kita tak rugi apa-apa,” katanya sambil menuang arak. Gerakannya sangat gemulai dan suaranya begitu merdu.
Kuambil arak itu. Ketika menyesapnya aku jadi berpikir Pikatan terlalu pintar untuk hanya jadi seorang selir. Ia bahkan terang-terangan menunjukkan minatnya dalam bidang politik dan siasat. Jelas saja istriku gusar. Namun mungkin saja itu terjadi karena Kirana terlambat memberiku putra. Putraku baru setahun sementara Panji Wergala—putra Pikatan—sudah enam tahun. Yah, cukup lama sudah aku mencium persaingan mereka, namun itu wajar belaka. Hal yang tak mungkin dielakkan.
“Julukannya Cerpelai Merah. Dan aku tak ingin ada cerpelai atau rubah di kastilku.”
Pikatan memohon ampun atas kelancangannya. Tentu kumaafkan. Tak mungkin ia berniat mencelakaiku.
Malamnya usul Pikatan terus mengekorku. Sutan Batuta musuh yang alot. Sepertinya ia tak akan menyerah sebelum salah satu dari kami binasa. Empat purnama lagi pastilah ia akan kembali menyerang. Sebelum itu, ia akan terus menyempurnakan rencananya. Apakah aku akan berdiam saja?
Cerpelai merah ini mungkin saja petunjuk Hyang Tunggal, kesempatanku untuk membuat tentram hidupku dan wangsaku. Dari dua puluh satu pemimpin wangsa negeri Antah Buana ini, hanya Batuta-lah yang memusuhiku. Ah, seandainya saja kaisar masih punya kekuatan, tentulah negeri ini akan tentram. Namun mimpi seperti itu sudah ada sejak seratus tahun lalu.
Cerpelai merah ini mungkin saja petunjuk Hyang Tunggal, kesempatanku untuk membuat tentram hidupku dan wangsaku. Dari dua puluh satu pemimpin wangsa negeri Antah Buana ini, hanya Batuta-lah yang memusuhiku. Ah, seandainya saja kaisar masih punya kekuatan, tentulah negeri ini akan tentram. Namun mimpi seperti itu sudah ada sejak seratus tahun lalu.
Ketika kembali ke ruanganku dan membicarakan ide Pikatan dengan Puti Kirana, istriku, ia tampak gusar.
“Seperti Tuanku mahfum, cerpelai suka melompat ke sana sini. Saya kira tak seharusnya kita ijinkan makhluk seperti itu di sini. Dan orang yang melontarkan ide itu, harus dipertanyakan kecakapannya berpikir.”
Aku berdiri lalu berjalan ke arah jendela. Salju masih turun, di luar pasti udara sangat menusuk. Perkataan Kirana sama belaka dengan yang kupikirkan. Apakah pernyataannya hanya untuk menyenangkanku? Ataukah ide Pikatan memang buruk? Wajahnya tampak sengit. Aku mencium kecemburuan di sana. Mungkinkah ia iri dengan ide itu?
###
Sutan Batuta tak mungkin menyerah jika hanya didiamkan.
Sudah lewat tengah malam namun pikiranku masih saja mengembara. Karena tak bisa tidur, aku pergi ke benteng.
Amarukso mengatakan Bujanglebun tetap bergeming di dekat gerbang.
Orang ini jelas cari mati, pikirku.
Sudah lewat tengah malam namun pikiranku masih saja mengembara. Karena tak bisa tidur, aku pergi ke benteng.
Amarukso mengatakan Bujanglebun tetap bergeming di dekat gerbang.
Orang ini jelas cari mati, pikirku.
“Bawa dia masuk. Beri makan dan tempatkan di barak. Besok pagi hadapkan ia,” perintahku. “Ingat, jangan lengah!”
“Daulat, Tuanku. Hamba sendiri yang akan mengawasi,” jawab Amarukso.
[BERSAMBUNG]
Labels:
Cerpen Fiksi
Thanks for reading . Please share...!