Cerpen Karangan: Fatma Nauli Butar Butar
“maaf, maaf, aku terburu-buru”. Akhirnya kami saling pandang, dan beberapa saat lamanya membisu layaknya patung, kemudian aku tersadar, tadinya aku berusaha mengingat masa lalu, sepertinya aku pernah mengenal dekat sosoknya, wajahnya tak asing lagi di mataku, suaranya tak asing lagi di telingaku.
“diaz?”
“mutia?”
“Kamu beneran diaz?” tanyaku.
“ya, aku diaz teman SMPmu”
Sudah 11 tahun kami tidak pernah berjumpa, dan akhirnya dipertemukan di tempat ini dalam keadaan yang menjengkelkan, meski sekarang dia sudah dewasa, umurnya sekitar 26 tahun, aku masih dapat mengenalinya, wajahnya tidak berbeda jauh dari yang dulu, kuakui dia semakin tampan, walaupun tetap menyebalkan.
Aku mengambil buku-bukuku yang dibantu olehnya, dia terus menatapku sejak tadi dan matanya tak juga hengkang dari wajahku, kemudian dia menarik tanganku. Kami pergi ke taman kota, dan duduk menikmati sore disana, sambil bertukar cerita.
“Selepas SMP, kamu SMA dimana yas?” tanyaku.
“di pekan baru, aku tinggal sama nenek, kamu dimana muti?”
“aku SMA di medan yas”
“oh, ya makin cantik aja ya, tapi makin cerewet juga, hahaha”
“gak lucu, kamu masih menjengkelkan, dan setiap bersamamu rasanya aku ingin marah saja”
“tuh kan, marah lagi, cerewet lagi, dari dulu gak berubah-berubah”
aku memukulnya, seperti aku memukulnya dulu “aw, sakit mutiku yang cantik” ucapnya sambil manja sambil mentoel pipiku. Membuat mata kami saling menatap satu sama lain, hingga membuatku bungkam seluruh bahasa dunia, begitu dekat jarak kami, hingga dapat kurasakan desahan napasnya, aku cepat berbalik arah, tapi dia menggenggam tanganku, kurasakan getaran-getaran yang menjalar dari jemari-jemarinya, beberapa saat lamanya kami diam, dan menikmati perasaan yang mungkin enggak pernah singgah, karena SMP dulu bisa dibilang kami musuhan, sering bertengkar. Aku tersadar kemudian menarik tanganku cepat-cepat “apa sih pegang-pegang!” ucapku sinis. “yee GR, tadi di tanganmu ada semut, mau aku ambil, tapi kamu tuh kesempatan megang tanganku” jawab diaz. “ih, udah salah, mutar balikkan fakta lagi, dari dulu gak pernah berubah, menyebalkan!” ucapku sambil ngeloyor pergi meninggalkan diaz, yang masih diam terpaku.
Aku berjalan pulang dengan hati kesal, sampai di rumah aku bergegas mandi kemudian tiduran di kamar karena aku merasa lelah, dan semenjak bertemu diaz lelahku semakin berlipat ganda. “Ah, mengapa aku kesal dengan diaz?” tanyaku dalam hati. Bukankah masa SMP itu sudah lama berlalu, lantas mengapa aku masih bertingkah seperti anak kecil, aku kembali mengingat masa-masa SMP, dulu aku sekelas dengan diaz, aku adalah sekretaris kelas dan diaz adalah ketua kelas, keadaan itu semakin membuat kami sering bertengkar, entah karena apa saja, tapi setiap aku dan diaz bertemu pertengkaran tidak pernah terelakkan, aku masih ingat masa-masa SMP dulu tak terlupakan, apalagi semua kenakalan diaz, dulu aku pernah bergumam ingin membalasnya semua kejahatannya, aku masih ingat ketika aku mau duduk di bangku ku, diaz menarik bangku ku, hingga akhirnya aku jatuh terhempas di lantai, sakit sekali rasanya, tapi diaz malah tertawa mengejekku, dia benar-benar sengaja membuatku muntab, ingin rasanya ku hajar dia waktu itu, aku mengejarnya, tapi dia berlari begitu kencang hingga tidak dapat terdahului olehku. Aku berbalik arah ke kelas dan sejak saat itu aku tidak berteman dengannya selama 3 hari, ingat bahwa islam tidak membenarkan orang yang memutuskan tali silaturahmi, aku kemudian memaafkannya, dimaafkan dia bukannya berubah, malah semakin menjadi-jadi jailnya.
Lamunanku buyar seketika, mendengar ponselku berdering. Pesan singkat dari nomor tak dikenal “sore menjelang malam cantik, sudah mandi?”. “siapa?” aku membalas pesannya. “aku adalah kamu, kamu yang hidup di hatiku” balasnya. “O” balasku sesingkat mungkin, malas meladeni orang gila, pikirku.
Selesai shalat isya aku tidur. Aku tertidur pulas hingga bangun kesiangan, aku bergegas mandi, aku bekerja di bank BTN dan juga menghandle percetakan yang aku rintis sejak 6 tahun yang lalu.
Di tempat kerja, aku teringat akan berkas-berkas pentingku yang aku letakkan di dalam buku-buku, mungkin tertinggal di rumah pikirku. Lama aku tercenung, kemudian seseorang memegam bahuku dari arah belakang, aku terkejut dan langsung berbalik arah, “diaz? sedang apa kamu disini?” tanyaku. “nih buku-buku kamu, kemaren ngeloyor aja, ninggalin bukunya di bangku, yang tadi malam SMS itu aku, aku nemuin kartu nama kamu di dalam salah satu buku”. “oh, makasih” ucapku pendek. Langsung berbalik arah mau pergi. Diaz menarik tanganku, hingga mataku membentur matanya, ada getaran di matanya, aku dapat merasakan getaran itu, karena frekuensinya begitu kentara terpancar. “aku jemput di rumahmu ya, kita makan malam” ucap diaz lirih. Dia ngeloyor pergi tanpa sempat aku menjawab. Padahal nanti malam, aku ada janji sama tunanganku, mau makan malam di rumahnya bersama ayah dan ibuku juga. Ah, tapi biarlah, salah siapa langsung pergi, hitung-hitung balas dendam, hahaha.
Langit mulai dihiasi pancaran jingga, dan malam mulai merambah bumi dengan segenap suasana magisnya, bintang bertabur di langit, bulan bersinar dengan segela kerendahan hatinya, indah, menawan, dan mempesona keadaan langit malam ini. Aku memakai dress biru yang sepadan dengan warna kerudungku. Aku menunggu azzam tunanganku sambil menonton TV, tak berapa lama dia datang, kami pun langsung pergi ke rumahnya.
Ibu azzam sibuk ingin mempercepat pernikahan kami, katanya ia takut aku diambil orang, ada-ada saja ibu azzam. Makan malam yang menyenangkan, dengan calon suamiku, kedua orangtuaku, dan kedua calon mertuaku, aku begitu menikmati malam ini, malam yang romantis dan penuh dengan nuansa kekeluargaan, ternyata suasana malam ini seindah bintang-bintang di langit. Makan malam diakhiri dengan perbincangan antara orangtuaku dan orangtua azzam. Kemudian kami pulang diantar azzam. “I love you sayang” ucap azzam di penghujung pertemuan kami malam itu, “I love you too sayang” ucapku.
Di kamar bayang-bayang diaz kembali merayapi pikiranku, dan menari-nari di mataku. Aku teringat, bukankah tadi pagi diaz bilang mau mengajakku makan malam, tapi dia tidak ada datang ke rumahku, ah, biarlah pikirku, bukankah memang lebih baik jika dia tidak jadi datang. Aku kembali memutar haluan pikiranku dari diaz menjadi azzam. Sebentar lagi aku menikah dengan azzam, seorang dosen di fakultas MIPA USU. Aku tidak boleh memikirkan si tengik diaz yang jail, apalagi merasakan getaran yang sama kalau didekat diaz, tidak, itu tidak boleh, aku mencintai azzam, ya azzam.
Pagi yang indah, ini hari sabtu, aku tidak masuk kerja hari sabtu. Hari ini aku tujuanku toko buku. Lagi-lagi di toko buku aku bertemu diaz, rasanya allah senang sekali melehat kami bertengkar, hingga aku harus selalu dipertemukan dengan diaz. “tadi malam kenapa gak jadi datang?, memang sengaja bohong kan?, jail kali!, untung aku memang gak percaya dari awal!” ucapku pada diaz. “bukankah seseorang telah menjemputmu tadi malam?” jawab diaz santai dan lirih. “sok tau kamu yas” ucapku. “ya taulah, aku tadi malam ke rumahmu, karena sudah ada orang lain, aku pun pulang, menyenangkan ya tadi malam” jawab diaz. “hmmm, ya begitulah”. Selesai aku membeli bukuku, aku diaz makan siang bareng di sebuah tempat makan yang cukup romantis, tempat pilihan diaz, aku juga heran kenapa aku diajak kesini. Bukan mau mengkhianati azzam dengan makan bareng diaz, lagian diaz cuma teman lamaku.
Setelah pesanan datang, kami pun memulai acara makan kami, aku mulai menyuapkan makanan ke mulutku hingga beberapa suap, tetapi kemudian aku tersadar diaz menatapku tajam, tak berkedip, “diaz? Kamu kenapa?”, diaz tetap diam dan tak menggoyahkan pandangannya sedikit pun, “diaz?” ucapku sedikit lebih keras. “eh, oh, eh, kenapa muti?” jawab diaz. “kamu itu yang kenapa, bengong melompong gak jelas” ucapku.
“aku, aku, aku sebenarnya” ucap diaz.
“sebenarnya apa?” jawabku bertanya.
Diaz menggenggam erat jemariku, seolah tak ingin melepas genggamannya, dia mulai bercerita “kamu ingat gak? aku dulu jahat kali sama kamu, aku pernah basahin seragam kamu pake es jeruk ku, aku sering dengan sengaja nabrak kamu, hingga kamu jatuh, aku sering mengejekmu anak manja, aku pernah menguncimu di kelas ketika semua orang sudah pulang, aku pernah menarik bangku mu sewaktu kamu mau duduk, hingga kamu terjatuh, aku sering melemparmu pakai kertas hingga di bawah mejamu banyak sampah, dan kau dimarah guru. Kamu ingat itu kan? Mungkin kamu dendam atau bahkan sangat membenciku, aku sadar aku memang pantas untuk kamu benci. Tapi ingatkah kamu, di tasmu, pernah ada banyak permen say, yang semuanya ada tulisan I LOVE YOU, kamu ingat muti? Itu aku yang memasukkan ke tas mu. Kamu ingat ada begitu banyak puisi yang setiap pagi kamu temui di atas meja mu? Itu dari aku muti. Kamu ingat ketika pulang les sore, ayahmu tidak datang menjemput mu, lalu aku yang mengantarmu pulang, kamu ingat muti? Itu semua karena aku tidak pernah pulang sebelum kamu dijemput ayahmu, aku sangat mencintaimu muti, dan kalaupun aku jail dan nakal itu hanya karena aku ingin merebut perhatianmu muti, maafkan aku muti? Aku memang terlalu egois dan gengsi hingga perasaan ini aku pendam begitu lama, sejak tamat SMP aku selalu mencarimu muti, aku menyesal karena tak sempat mengungkapkan perasaanku padamu, aku tak lagi tahu kabarmu, telah banyak aku berkelana ke lain hati muti, tapi tak pernah kurasakan hangatnya cinta sebagaiman cintamu yang tak pernah hengkang dari setiap penjuru hatiku, aku mencintaimu sejak kita dipertemukan pertama kali sewaktu pendaftaran, aku tak bisa berpaling ke hati manapun muti”
Mendengar perkataan diaz jantungku bergetar hebat, getarannya begitu kuat hingga mungkin menjalar sampai ke tangan diaz, diaz belum melepaskan genggamannya, jantungku semakin gak karuan, ingin rasanya aku berlari dari tempat ini, aku menundukkan kepala, tak berani menatap mata diaz. Diaz melanjutkan ceritanya, “muti, andai kamu tahu, aku sudah malang melintang kesana kemari mencarimu, aku mencintaimu muti, kali pertama kita bertemu, sebenarnya aku diberitahu firman teman sekelas kita bahwa ia melihatmu, makanya aku berlari dan begitu terburu-buru, karena aku benar-benar takut muti, aku takut tak lagi bisa melihatmu, tak lagi bisa menatap matamu yang indah”. Cerita diaz semakin membuatku menundukkan kepala, bodohnya aku tidak mau pergi dari tempat itu, padahal aku tunangan azzam, berdosanya aku ini. Aku cepat-cepat menarik tanganku dari genggaman tangan diaz, tapi ternyata diaz tak semudah itu melepaskan genggamannya. “maukah kamu menikah denganku muti? Aku sangat mencintaimu muti, maafkan aku atas semua, berilah aku kesempatan agar aku tidak menyesal untuk kedua kalinya. Kali ini bibirku mulai bergerak lirih “aku sudah bertunangan yas, maafkan aku”.
“Aku tahu muti, aku tahu kamu mencintaiku” ucap diaz sendu.
“tidak yas, aku sudah bertunangan, lupakan aku, masih banyak wanita di luar sana yang bisa kaucintai” jawabku.
“muti, aku tahu matamu, kamu mencintaiku, jujur muti”.
“sudahlah yas, lupakan aku”
Aku menarik tanganku, ketika belum semua jemariku lepas dari genggaman diaz, azzam datang ke tempat ini dengan rekannya, dia melihatku dan langsung menghampiriku, aku takut, aku benar-benar taku azzam marah dan memutuskan ikatan kami, walaupun sejak pertemuan dengan diaz beberapa hari yang lalu cintaku terbagi sedikit kepada diaz, tapi itu tidaklah banyak, hanya sedikit, sedikit sekali, hatiku tetaplah milik azzam.
“kamu siapa?” Tanya azzam dengan nada berat kepada diaz. “aku teman lama mutia” jawab diaz. “kalau hanya teman, kenapa kamu pegang-pegang tangan mutia?, aku melihat kalian sejak tadi, hingga hatiku terbakar” ucap azzam. Jantungku semakin tidak karuan, aku dapat merasakan getaran badanku, aku merasakan napasku yang berat, aku menundukkan kepala dalam-dalam, tidak berani menatap azzam. “dan kamu muti, kenapa kamu berbohong padaku? Bukankah tadi kamu bilang mau ke toko buku, dan tidak mau aku temani, kamu bilang tidak mau merepotkanku, tapi nyatanya apa muti? Kamu malah berdua-duaan, makan siang, pegangan tangan dengan laki-laki ini, kamu takut aku ganggu muti? Tega sekali kamu padaku!” azzam berkata lirih. Aku tau, wajah azzam begitu kentara memancarkan sinar kekecewaan dan kemarahan.
“maafkan aku zam, memang tadi aku membeli buku, dan tidak sengaja bertemu dengan temanku ini, maafkan aku zam, aku tidak membohongimu, dan aku juga tidak tahu kalau semua jadi seperti ini” ucapku lirih.
“akulah yang salah zam, aku mencintai muti sejak kami masih SMP, dan baru tadi aku mengungkapkannya, jangan sia-siakan muti zam, dia perempuan yang baik, yang dapat menjaga hatinya, tadi dia sudah berusaha melepaskan tangannya dari genggamanku, tapi akulah yang tidak melepaskannya, aku meyakinkannya dan sedikit memaksanya untuk mau menikah dengaku, tapi ia tidak mau, dia bilang dia sudah bertunangan, dia menyuruhku melupakannya, kalau mau marah, marahlah padaku zam, jang marah pada mutia, dia tidak bersalah” ucap diaz.
“ya sudahlah!, jangan kamu ganggu muti lagi, dan jangan kamu temui muti lagi” jawab azzam.
“iya, tapi izinkan aku tetap berteman dengan muti, hanya teman, aku tidak akan merebutnya darimu” ucap diaz.
“ya”. Jawab azzam cuek seperti tidak ikhlas, azzam lalu manarik tanganku, kami pun meninggalkan tempat itu dengan segala perasaan gundah gulana, kesal dan marah.
“maafkan aku zam” ucapku
“aku sudah memaafkanmu, lupakan semua” jawab azzam.
Tiga hari setelah kejadian di tempat makan itu, azzam menikah denganku, diaz menghadiri resepsi pernikahan kami. Diaz benar-benar menyesal untuk kedua kalinya, itu semua karena keegoisannya sendiri, semua terlambat, tetapi ia senang karena aku senang, sekarang agaknya diaz sudah jadi lelaki dewasa yang berjiwa besar.
SELESAI
Memory Masa Lalu
Aku berjalan gontai dengan tatapan kosong menyusuri sebuah pusat perbelanjaan dan tiba-tiba dari arah yang tidak kusangka-sangka, “bruggghhhhhhh” seorang laki-laki menabrakku dari arah arah yang berlawanan, sepertinya ia terburu-buru, dia membuat buku-buku yang aku pegang jatuh dan berserak, aku mengangkat kepalaku dan menatapnya “kalau jalan liat-liat dong, jangan asal tabrak aja”, pada saat yang bersamaan juga dia mengangkat kepalanya sambil berkata“maaf, maaf, aku terburu-buru”. Akhirnya kami saling pandang, dan beberapa saat lamanya membisu layaknya patung, kemudian aku tersadar, tadinya aku berusaha mengingat masa lalu, sepertinya aku pernah mengenal dekat sosoknya, wajahnya tak asing lagi di mataku, suaranya tak asing lagi di telingaku.
“diaz?”
“mutia?”
“Kamu beneran diaz?” tanyaku.
“ya, aku diaz teman SMPmu”
Sudah 11 tahun kami tidak pernah berjumpa, dan akhirnya dipertemukan di tempat ini dalam keadaan yang menjengkelkan, meski sekarang dia sudah dewasa, umurnya sekitar 26 tahun, aku masih dapat mengenalinya, wajahnya tidak berbeda jauh dari yang dulu, kuakui dia semakin tampan, walaupun tetap menyebalkan.
Aku mengambil buku-bukuku yang dibantu olehnya, dia terus menatapku sejak tadi dan matanya tak juga hengkang dari wajahku, kemudian dia menarik tanganku. Kami pergi ke taman kota, dan duduk menikmati sore disana, sambil bertukar cerita.
“Selepas SMP, kamu SMA dimana yas?” tanyaku.
“di pekan baru, aku tinggal sama nenek, kamu dimana muti?”
“aku SMA di medan yas”
“oh, ya makin cantik aja ya, tapi makin cerewet juga, hahaha”
“gak lucu, kamu masih menjengkelkan, dan setiap bersamamu rasanya aku ingin marah saja”
“tuh kan, marah lagi, cerewet lagi, dari dulu gak berubah-berubah”
aku memukulnya, seperti aku memukulnya dulu “aw, sakit mutiku yang cantik” ucapnya sambil manja sambil mentoel pipiku. Membuat mata kami saling menatap satu sama lain, hingga membuatku bungkam seluruh bahasa dunia, begitu dekat jarak kami, hingga dapat kurasakan desahan napasnya, aku cepat berbalik arah, tapi dia menggenggam tanganku, kurasakan getaran-getaran yang menjalar dari jemari-jemarinya, beberapa saat lamanya kami diam, dan menikmati perasaan yang mungkin enggak pernah singgah, karena SMP dulu bisa dibilang kami musuhan, sering bertengkar. Aku tersadar kemudian menarik tanganku cepat-cepat “apa sih pegang-pegang!” ucapku sinis. “yee GR, tadi di tanganmu ada semut, mau aku ambil, tapi kamu tuh kesempatan megang tanganku” jawab diaz. “ih, udah salah, mutar balikkan fakta lagi, dari dulu gak pernah berubah, menyebalkan!” ucapku sambil ngeloyor pergi meninggalkan diaz, yang masih diam terpaku.
Aku berjalan pulang dengan hati kesal, sampai di rumah aku bergegas mandi kemudian tiduran di kamar karena aku merasa lelah, dan semenjak bertemu diaz lelahku semakin berlipat ganda. “Ah, mengapa aku kesal dengan diaz?” tanyaku dalam hati. Bukankah masa SMP itu sudah lama berlalu, lantas mengapa aku masih bertingkah seperti anak kecil, aku kembali mengingat masa-masa SMP, dulu aku sekelas dengan diaz, aku adalah sekretaris kelas dan diaz adalah ketua kelas, keadaan itu semakin membuat kami sering bertengkar, entah karena apa saja, tapi setiap aku dan diaz bertemu pertengkaran tidak pernah terelakkan, aku masih ingat masa-masa SMP dulu tak terlupakan, apalagi semua kenakalan diaz, dulu aku pernah bergumam ingin membalasnya semua kejahatannya, aku masih ingat ketika aku mau duduk di bangku ku, diaz menarik bangku ku, hingga akhirnya aku jatuh terhempas di lantai, sakit sekali rasanya, tapi diaz malah tertawa mengejekku, dia benar-benar sengaja membuatku muntab, ingin rasanya ku hajar dia waktu itu, aku mengejarnya, tapi dia berlari begitu kencang hingga tidak dapat terdahului olehku. Aku berbalik arah ke kelas dan sejak saat itu aku tidak berteman dengannya selama 3 hari, ingat bahwa islam tidak membenarkan orang yang memutuskan tali silaturahmi, aku kemudian memaafkannya, dimaafkan dia bukannya berubah, malah semakin menjadi-jadi jailnya.
Lamunanku buyar seketika, mendengar ponselku berdering. Pesan singkat dari nomor tak dikenal “sore menjelang malam cantik, sudah mandi?”. “siapa?” aku membalas pesannya. “aku adalah kamu, kamu yang hidup di hatiku” balasnya. “O” balasku sesingkat mungkin, malas meladeni orang gila, pikirku.
Selesai shalat isya aku tidur. Aku tertidur pulas hingga bangun kesiangan, aku bergegas mandi, aku bekerja di bank BTN dan juga menghandle percetakan yang aku rintis sejak 6 tahun yang lalu.
Di tempat kerja, aku teringat akan berkas-berkas pentingku yang aku letakkan di dalam buku-buku, mungkin tertinggal di rumah pikirku. Lama aku tercenung, kemudian seseorang memegam bahuku dari arah belakang, aku terkejut dan langsung berbalik arah, “diaz? sedang apa kamu disini?” tanyaku. “nih buku-buku kamu, kemaren ngeloyor aja, ninggalin bukunya di bangku, yang tadi malam SMS itu aku, aku nemuin kartu nama kamu di dalam salah satu buku”. “oh, makasih” ucapku pendek. Langsung berbalik arah mau pergi. Diaz menarik tanganku, hingga mataku membentur matanya, ada getaran di matanya, aku dapat merasakan getaran itu, karena frekuensinya begitu kentara terpancar. “aku jemput di rumahmu ya, kita makan malam” ucap diaz lirih. Dia ngeloyor pergi tanpa sempat aku menjawab. Padahal nanti malam, aku ada janji sama tunanganku, mau makan malam di rumahnya bersama ayah dan ibuku juga. Ah, tapi biarlah, salah siapa langsung pergi, hitung-hitung balas dendam, hahaha.
Langit mulai dihiasi pancaran jingga, dan malam mulai merambah bumi dengan segenap suasana magisnya, bintang bertabur di langit, bulan bersinar dengan segela kerendahan hatinya, indah, menawan, dan mempesona keadaan langit malam ini. Aku memakai dress biru yang sepadan dengan warna kerudungku. Aku menunggu azzam tunanganku sambil menonton TV, tak berapa lama dia datang, kami pun langsung pergi ke rumahnya.
Ibu azzam sibuk ingin mempercepat pernikahan kami, katanya ia takut aku diambil orang, ada-ada saja ibu azzam. Makan malam yang menyenangkan, dengan calon suamiku, kedua orangtuaku, dan kedua calon mertuaku, aku begitu menikmati malam ini, malam yang romantis dan penuh dengan nuansa kekeluargaan, ternyata suasana malam ini seindah bintang-bintang di langit. Makan malam diakhiri dengan perbincangan antara orangtuaku dan orangtua azzam. Kemudian kami pulang diantar azzam. “I love you sayang” ucap azzam di penghujung pertemuan kami malam itu, “I love you too sayang” ucapku.
Di kamar bayang-bayang diaz kembali merayapi pikiranku, dan menari-nari di mataku. Aku teringat, bukankah tadi pagi diaz bilang mau mengajakku makan malam, tapi dia tidak ada datang ke rumahku, ah, biarlah pikirku, bukankah memang lebih baik jika dia tidak jadi datang. Aku kembali memutar haluan pikiranku dari diaz menjadi azzam. Sebentar lagi aku menikah dengan azzam, seorang dosen di fakultas MIPA USU. Aku tidak boleh memikirkan si tengik diaz yang jail, apalagi merasakan getaran yang sama kalau didekat diaz, tidak, itu tidak boleh, aku mencintai azzam, ya azzam.
Pagi yang indah, ini hari sabtu, aku tidak masuk kerja hari sabtu. Hari ini aku tujuanku toko buku. Lagi-lagi di toko buku aku bertemu diaz, rasanya allah senang sekali melehat kami bertengkar, hingga aku harus selalu dipertemukan dengan diaz. “tadi malam kenapa gak jadi datang?, memang sengaja bohong kan?, jail kali!, untung aku memang gak percaya dari awal!” ucapku pada diaz. “bukankah seseorang telah menjemputmu tadi malam?” jawab diaz santai dan lirih. “sok tau kamu yas” ucapku. “ya taulah, aku tadi malam ke rumahmu, karena sudah ada orang lain, aku pun pulang, menyenangkan ya tadi malam” jawab diaz. “hmmm, ya begitulah”. Selesai aku membeli bukuku, aku diaz makan siang bareng di sebuah tempat makan yang cukup romantis, tempat pilihan diaz, aku juga heran kenapa aku diajak kesini. Bukan mau mengkhianati azzam dengan makan bareng diaz, lagian diaz cuma teman lamaku.
Setelah pesanan datang, kami pun memulai acara makan kami, aku mulai menyuapkan makanan ke mulutku hingga beberapa suap, tetapi kemudian aku tersadar diaz menatapku tajam, tak berkedip, “diaz? Kamu kenapa?”, diaz tetap diam dan tak menggoyahkan pandangannya sedikit pun, “diaz?” ucapku sedikit lebih keras. “eh, oh, eh, kenapa muti?” jawab diaz. “kamu itu yang kenapa, bengong melompong gak jelas” ucapku.
“aku, aku, aku sebenarnya” ucap diaz.
“sebenarnya apa?” jawabku bertanya.
Diaz menggenggam erat jemariku, seolah tak ingin melepas genggamannya, dia mulai bercerita “kamu ingat gak? aku dulu jahat kali sama kamu, aku pernah basahin seragam kamu pake es jeruk ku, aku sering dengan sengaja nabrak kamu, hingga kamu jatuh, aku sering mengejekmu anak manja, aku pernah menguncimu di kelas ketika semua orang sudah pulang, aku pernah menarik bangku mu sewaktu kamu mau duduk, hingga kamu terjatuh, aku sering melemparmu pakai kertas hingga di bawah mejamu banyak sampah, dan kau dimarah guru. Kamu ingat itu kan? Mungkin kamu dendam atau bahkan sangat membenciku, aku sadar aku memang pantas untuk kamu benci. Tapi ingatkah kamu, di tasmu, pernah ada banyak permen say, yang semuanya ada tulisan I LOVE YOU, kamu ingat muti? Itu aku yang memasukkan ke tas mu. Kamu ingat ada begitu banyak puisi yang setiap pagi kamu temui di atas meja mu? Itu dari aku muti. Kamu ingat ketika pulang les sore, ayahmu tidak datang menjemput mu, lalu aku yang mengantarmu pulang, kamu ingat muti? Itu semua karena aku tidak pernah pulang sebelum kamu dijemput ayahmu, aku sangat mencintaimu muti, dan kalaupun aku jail dan nakal itu hanya karena aku ingin merebut perhatianmu muti, maafkan aku muti? Aku memang terlalu egois dan gengsi hingga perasaan ini aku pendam begitu lama, sejak tamat SMP aku selalu mencarimu muti, aku menyesal karena tak sempat mengungkapkan perasaanku padamu, aku tak lagi tahu kabarmu, telah banyak aku berkelana ke lain hati muti, tapi tak pernah kurasakan hangatnya cinta sebagaiman cintamu yang tak pernah hengkang dari setiap penjuru hatiku, aku mencintaimu sejak kita dipertemukan pertama kali sewaktu pendaftaran, aku tak bisa berpaling ke hati manapun muti”
Mendengar perkataan diaz jantungku bergetar hebat, getarannya begitu kuat hingga mungkin menjalar sampai ke tangan diaz, diaz belum melepaskan genggamannya, jantungku semakin gak karuan, ingin rasanya aku berlari dari tempat ini, aku menundukkan kepala, tak berani menatap mata diaz. Diaz melanjutkan ceritanya, “muti, andai kamu tahu, aku sudah malang melintang kesana kemari mencarimu, aku mencintaimu muti, kali pertama kita bertemu, sebenarnya aku diberitahu firman teman sekelas kita bahwa ia melihatmu, makanya aku berlari dan begitu terburu-buru, karena aku benar-benar takut muti, aku takut tak lagi bisa melihatmu, tak lagi bisa menatap matamu yang indah”. Cerita diaz semakin membuatku menundukkan kepala, bodohnya aku tidak mau pergi dari tempat itu, padahal aku tunangan azzam, berdosanya aku ini. Aku cepat-cepat menarik tanganku dari genggaman tangan diaz, tapi ternyata diaz tak semudah itu melepaskan genggamannya. “maukah kamu menikah denganku muti? Aku sangat mencintaimu muti, maafkan aku atas semua, berilah aku kesempatan agar aku tidak menyesal untuk kedua kalinya. Kali ini bibirku mulai bergerak lirih “aku sudah bertunangan yas, maafkan aku”.
“Aku tahu muti, aku tahu kamu mencintaiku” ucap diaz sendu.
“tidak yas, aku sudah bertunangan, lupakan aku, masih banyak wanita di luar sana yang bisa kaucintai” jawabku.
“muti, aku tahu matamu, kamu mencintaiku, jujur muti”.
“sudahlah yas, lupakan aku”
Aku menarik tanganku, ketika belum semua jemariku lepas dari genggaman diaz, azzam datang ke tempat ini dengan rekannya, dia melihatku dan langsung menghampiriku, aku takut, aku benar-benar taku azzam marah dan memutuskan ikatan kami, walaupun sejak pertemuan dengan diaz beberapa hari yang lalu cintaku terbagi sedikit kepada diaz, tapi itu tidaklah banyak, hanya sedikit, sedikit sekali, hatiku tetaplah milik azzam.
“kamu siapa?” Tanya azzam dengan nada berat kepada diaz. “aku teman lama mutia” jawab diaz. “kalau hanya teman, kenapa kamu pegang-pegang tangan mutia?, aku melihat kalian sejak tadi, hingga hatiku terbakar” ucap azzam. Jantungku semakin tidak karuan, aku dapat merasakan getaran badanku, aku merasakan napasku yang berat, aku menundukkan kepala dalam-dalam, tidak berani menatap azzam. “dan kamu muti, kenapa kamu berbohong padaku? Bukankah tadi kamu bilang mau ke toko buku, dan tidak mau aku temani, kamu bilang tidak mau merepotkanku, tapi nyatanya apa muti? Kamu malah berdua-duaan, makan siang, pegangan tangan dengan laki-laki ini, kamu takut aku ganggu muti? Tega sekali kamu padaku!” azzam berkata lirih. Aku tau, wajah azzam begitu kentara memancarkan sinar kekecewaan dan kemarahan.
“maafkan aku zam, memang tadi aku membeli buku, dan tidak sengaja bertemu dengan temanku ini, maafkan aku zam, aku tidak membohongimu, dan aku juga tidak tahu kalau semua jadi seperti ini” ucapku lirih.
“akulah yang salah zam, aku mencintai muti sejak kami masih SMP, dan baru tadi aku mengungkapkannya, jangan sia-siakan muti zam, dia perempuan yang baik, yang dapat menjaga hatinya, tadi dia sudah berusaha melepaskan tangannya dari genggamanku, tapi akulah yang tidak melepaskannya, aku meyakinkannya dan sedikit memaksanya untuk mau menikah dengaku, tapi ia tidak mau, dia bilang dia sudah bertunangan, dia menyuruhku melupakannya, kalau mau marah, marahlah padaku zam, jang marah pada mutia, dia tidak bersalah” ucap diaz.
“ya sudahlah!, jangan kamu ganggu muti lagi, dan jangan kamu temui muti lagi” jawab azzam.
“iya, tapi izinkan aku tetap berteman dengan muti, hanya teman, aku tidak akan merebutnya darimu” ucap diaz.
“ya”. Jawab azzam cuek seperti tidak ikhlas, azzam lalu manarik tanganku, kami pun meninggalkan tempat itu dengan segala perasaan gundah gulana, kesal dan marah.
“maafkan aku zam” ucapku
“aku sudah memaafkanmu, lupakan semua” jawab azzam.
Tiga hari setelah kejadian di tempat makan itu, azzam menikah denganku, diaz menghadiri resepsi pernikahan kami. Diaz benar-benar menyesal untuk kedua kalinya, itu semua karena keegoisannya sendiri, semua terlambat, tetapi ia senang karena aku senang, sekarang agaknya diaz sudah jadi lelaki dewasa yang berjiwa besar.
SELESAI
Labels:
Cerpen Cinta
Thanks for reading . Please share...!